“Bunda…kaka ingin seperti Aisyah istri Baginda nabi..dia kan cerdas ya nda..?”, celetuk Farah di pagi buta saat bundanya membangunkan dia untuk shalat shubuh. Selidik punya selidik ternyata Farah masih sangat terpesona dengan cerita bundanya saat menjelang tidur tadi malam. Sang bunda tersenyum bahagia dan mulai bertanya
“Hmm…o iya dong, anak bunda juga bisa seperti Aisyah yang cerdas..?”.
”Ya bunda,kaka harus belajar jadi penghafal quran sama ribuan hadits seperti Imam syafii’ juga. Kan kata bunda Imam syafii’ itu keluarga miskin ya. Tapi dia gigih. Imam Syafii’ mengumpulkan tulang belulang, pelepah kurma dan benda-benda lain yang bisa dipake buat menulis ilmu-ilmu yang diperolehnya…hmm, hebat ya bun…”
Pengulangan cerita semalam sangat jelas diulang Farah tanpa terlewat. Di mata binarnya terpancar gelora semangat cita untuk meniru manusia-manusia keren itu. “Wah putri sulung bunda yang hebat…Nanti bunda cerita lebih banyak soal Muhammad alfatih yang mampu menaklukan konstantinopel dengan membuat pegunungan menjadi lautan selama semalam, tentang mush’ab bin umair yang mampu mengislamkan Madinah hanya dalam 1 tahun.”
Menyenangkan bagi siapapun yang menikmati segmen keluarga seperti ini. Apalagi para ibu, yang mengharapkan anak mereka seorang yang sholeh dan bercita-cita tinggi untuk kemuliaan Islam. Sayang, segmen itu menjadi kejadian yang sangat langka bahkan mungkin sulit untuk ditemukan di dunia nyata. Keluarga menjadi nama yang terlalu phobia untuk disebutkan oleh beberapa anak saat mereka harus menyebutkan kepada siapa saja mereka harus menceritakan masalahnya. Anak-anak dan remaja saat ini juga mengalami segmen hidup yang berbeda 180 derajat dari cerita di atas. Mereka lebih senang bermain dengan teman sebayanya. Internet adalah sahabat baiknya, pacar adalah tempat pelarian masalahnya. Mereka telah dipisahkan dari institusi rumah yang di dalamnya ada seorang ibu yang siap menjaganya setiap kali ada bahaya, membentuk karakternya, dan memberikan asupan gizi pemahaman Islam yang benar. Namun, sayangnya, banyak para ibu yang tidak pernah benar-benar mengetahui siapa anaknya dan seperti apa pergaulan anak-anaknya di luar sana. Remaja telah salah mengambil jalan dan terseret arus kesesatan yang sulit untuk diterka seberapa dalam jurang kesesatan itu.
Di Depan Mata
Masa depan generasi muda kita sedang benar-benar dirusak secara sistemik. Mereka diserang dari berbagai arah. Benteng terakhir bernama keluargapun tidak mampu melawan arus deras serangan ini. Kasus-kasus pornografi, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, aborsi, dan kenakalan remaja lainnya telah menjadi hal yang sangat membosankan sekaligus mengkhawatirkan para ibu akan keselamatan anak-anaknya.
Kasus video mesum yang perankan oleh orang yang mirip Ariel dan Luna Maya berdurasi 6,49 menit adalah video kesekian yang berhasil menghebohkan negeri ini. Banyak remaja bahkan siswa di bangku Sekolah Dasar justru berbondong-bondong membuka video ini setelah kasus ini digembor-gemborkan di media. Gaung kasus mesum ini dengan tersebarnya video porno mereka, ternyata menyamai gaung Piala Dunia.
Kita mungkin masih ingat, kita pernah dihebohkan oleh rekaman video porno sepasang mahasiswa Itenas berjudul “Bandung Lautan Asmara” tahun 2001.
Sejak saat itu, dalam setiap razia ponsel yang berfasilitas kamera dan pemutar video 3gp yang digelar sekolah, banyak pelajar yang menyimpan video porno dalam ponselnya. Dari pose bugil hingga adegan persetubuhan dua remaja berlainan jenis.
Lebih dari 500 video porno sudah diproduksi dan diedarkan di Indonesia. Mayoritas video amatir hasil rekaman kamera ponsel. Demikian hasil penelitian seorang Sony Set. Praktisi pertelevisian sekaligus penulis buku bertajuk, “500 plus, Gelombang Video Porno Indonesia”. Parahnya, Sebanyak 90 % pembuat video porno itu berasal dari kalangan anak muda, dari SMP sampai mahasiswa. Sisanya dari kalangan dewasa”, lanjut Sony.
Data mengejutkan terekam dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati. Sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa Sekolah Dasar (SD) kelas 4-6 mengaku pernah mengakses pornografi. Sebagian besar anak-anak itu melihat pornografi lewat komik. Hasil survei menunjukan, anak-anak belia tersebut selama ini mengakses pornografi melalui komik (24 persen), situs internet 22 persen, permainan 17 persen, film/TV 12 persen, telepon genggam 6 persen, majalah 6 persen, dan koran 5 persen.
Kasus ini tidak hanya berhenti pada kasus video mesum saja, namun menjadi rentetan mata rantai kejahatan seks lainnya. Kasus-kasus pornografi yang kemudian memunculkan UU Pornografi tidak pernah terselesaikan dengan tuntas di negeri ini. Para pelaku videopun ditempatkan dalam posisi yang aman yaitu sebagai “korban” orang yang tidak bertanggungjawab mengedarkan. Foto-foto tidak senonoh, situs-situs yang mengumbar seks, dan yang lainnya tak mampu lagi kita hitung dengan kalkulator. Rentetan kejahatan berikutnya adalah kehamilan di luar nikah yang menjadi hal yang lumrah dan dimaklumi di tengah-tengah masyarakat kita sekarang. Bahkan kehamilan di luar nikah ini telah memaksa para remaja untuk menjadi pembunuh berdarah dingin, melakukan aborsi. Sekitar 2 juta bayi tidak berdosa telah terbunuh setiap tahunnya di negeri yang “nyantri” ini. Kejahatan yang melebihi kejahatan perang dan kematian karena penyakit dan kecelakaan.
Akar Masalah
Serangkaian masalah di atas bukan tanpa diskenariokan. Pembunuhan karakter generasi muda terutama remaja telah dilakukan secara sistematis. Ideologi kapitalisme yang diemban oleh negeri ini telah memaksa para pengambil kebijakan untuk mengekor budaya apapun yang diemban oleh Negara bapaknya kapitalisme, Amerika Serikat. Ideologi kapitalisme ( baik diakui atau tidak oleh Negara ini sebagai ideologi negara ) memiliki karakter yang khas yaitu menjadikan Tuhan sebagai pencipta yang dikerdilkan. Tuhan disimpan di pojok-pojok mesjid dan pesantren, di mimbar gereja, dan di tempat peribadatan lain.
Kini orang lebih bangga bicara HAM, ide-ide kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Kebebasan berekspresi telah melahirkan pemahaman permisifisme (serba boleh).
Kita lihat di beberapa negara Barat, perilaku seks bebas remaja memang sangat tinggi. Pitchkal (2002) melaporkan bahwa di AS, 25% anak perempuan berusia 15 tahun dan 30% anak laki-laki usia 15 tahun telah berhubungan intim. Di Inggris, lebih dari 20% anak perempuan berusia 14 tahun rata-rata telah berhubungan seks dengan tiga laki-laki. Di Spanyol, dalam survei yang dilakukan tahun 2003, 94,1% pria hilang keperjakaannya pada usia 18 tahun dan 93,4% wanita hilang keperawanannya pada usia 19 tahun. (Iwan Januar, “Sex Before Married”, 2007).
Sekarang mari lihatlah kondisi remaja kita, dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menunjukkan kecenderungan revolusi perilaku remaja dalam urusan seks. Seperti hasil survei Synovate Research tentang perilaku seksual remaja (15 - 24 tahun) di kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, September 2004. Hasilnya, 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13-15 tahun. Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya, mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%). (Penapendidikan.com, 02/04/08).
Artinya, perilaku di Barat itu akhirnya tak jauh dengan perilaku remaja dan anak-anak di sekitar kita.
Sikap permissif remaja dalam urusan seks tidak hanya dikampanyekan oleh film-film remaja, namun melalui komik, sinetron, video klip, majalah, situs porno di internet, game online, sampai novel-novel remaja.
Kontrol masyarakat (termasuk institusi pendidikan dan orangtua) yang rendah ikut menjadi penyebab tidak terkontrolnya pergaulan remaja saat ini. Masyarakat menganggap pacaran dan aktifitas lain yang mendekati zina adalah hal yang lumrah dilakukan anak muda sekarang, bahkan menegur mereka yang melakukan aktiftas pornografi dan pornoaksi adalah hal yang tabu untuk dilakukan.
Dari semua hal di atas, maka jelaslah sudah bahwa kehancuran generasi muda kita telah terjadi secara sistemik. Kehancuran generasi ini tidak akan menghadiahkan apa-apa kecuali kekacauan dan kebinasaan umat manusia. Peristiwa ini membuat umat Islam lenih mudah dilumpuhkan, yakni akan kehilangan generasi terbaiknya.
Satu-satunya Harapan
Islam adalah satu-satunya agama sekaligus sebuah pandangan hidup yang unik. Selain memiliki serangkaian tatanan ibadah, Islam juga memiliki solusi-solusi jitu dalam menyelesaikan segala permasalahannya. Perangkatnya begitu lengkap mulai dari mengurusi masalah akidah dan ibadah, kehidupan rumah tangga, bertetangga, berekonomi, berpolitik, penyelenggaraan negara, militer, pendidikan, politik luar negri termasuk pengaturan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam sistem sosial.
Hanya Islam satu-satunya nilai di dunia yang memiliki landasan akidah Islam yang kuat. Yang dapat diimplementasikan di dalam kehidupan berumah tangga sampai di level pemerintahan. Inilah salah satu nilai yang paling menakutkan Barat saat ini. Keindahan hidup di bawah naungan Islam harusnya menjadi dambaan kita semua, kita akan menyelamatkan generasi kita dari kehancuran dan kepunahan. Sudah saatnya kita peduli dan menjadi bagian dari perubahan, memenuhi seruan Allah untuk kembali kepada Islam sebagai landasan hidup. Masalahnya, seberapa kuat kita “menjaga” anak-anak kita dari semua “serangan” yang kini mengintai kita? Di situlah jawaban sebagai dari kunci utama dalam “perang ideologi’ ini.
salam_sitijamilahamdi
sumber : */ Lela Albidari, voa-islam
KELUARGA MUSLIM SEDANG DIINTAI kehancuran....
Diposting oleh butir-butir keindahan | 22.29 | keluarga | 0 komentar »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar
Posting Komentar